Minggu, 17 April 2016

Meneladani Perjuangan tokoh proklamasi "syahruddin"

anggota kelompok :
khanita amelinda heruwati (17)
Sesar novia fatimah (27)
Novita Wulandari (20)


Syahrudin
Telegrafis yang menyiarkan berita Proklamasi Indonesia ke seluruh dunia


Biografi Syahruddin Tokoh Pemberitaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Biografi Syahruddin Tokoh Pemberitaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia - Syahruddin dalah seorang telegraphis pada kantor berita Jepang (DOMEI) yang mengabarkan berita proklamasi kemerdekaan Negara Indonesia ke seluruh dunia secara sembunyi-sembunyi ketika personil jepang istirahat pada tanggal 17 agustus 1945 jam 4 sore. Tanpa jasa syahruddin, maka niscaya berita proklamasi tidak akan cepat disebarluaskan.

Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar jam 17:30 WIB. Saat itu  Pak Jusuf sedang berada di kantornya, Hoso Kyoku (Radio Militer Jepang di Jakarta). Tiba-tiba muncullah Syahruddin, seorang pewarta dari kantor berita Jepang Domei dengan tergesa-gesa. (Catatan: Pak Jusuf sempat meralat kebenaran berita bahwa yang datang itu adalah sejarawan Des Alwi). Syahruddin yang masuk ke kantor Hoso Kyoku dengan melompati pagar itu menyerahkan selembar kertas dari Adam Malik yang isinya “Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud adalah Naskah Proklamasi yang telah dibacakan Bung Karno jam 10 pagi. Masalahnya, semua studio radio Hoso Kyoku sudah di jaga ketat sejak beberapa hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah  Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika. Jusuf kemudian berunding dengan rekan-rekannya, diantaranya Bachtiar Lubis (kakak dari Sastrawan dan tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis) dan Joe Saragih, seorang teknisi radio.
Beruntung, studio siaran luar negeri tidak dijaga. Saat itu juga dengan bantuan Joe, kabel di studio siaran dalam negeri di lepas dan disambungkan ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19:00 WIB selama kurang lebh 15 menit Jusuf pun membacakan kabar tentang proklamasi di udara, sementara di studio siaran dalam negeri tetap berlangsung siaran seperti biasa untuk mengecoh perhatian tentang Jepang.

Belakangan tentara Jepang mengetahui akal bulus Jusuf dan kawan-kawannya. Mereka pun sempat disiksa.
Beruntung mereka selamat. Malam itu pun radio Hoso Kyoku resmi dinyatakan bubar, tetapi dunia saat itu juga sudah mengetahui kabar tentang proklamasi langsung dari mulut Jusuf Ronodipuro. Sayang rekaman suara ini tidak diketahui lagi keberadaannya, atau jangan-jangan sudah tidak ada mengingat malam itu juga radio tersebut ditutup oleh Jepang.[gs]
HAL YANG DAPAT DITELADANI.

mengingat perannya yang sangatlah penting. Tokoh  Syahruddin berjasa dalam penyiaran kemerdekaan indonesia secara diam diam melalui kantor berita jepang tepatnya saluran siaran luar negeri.

sikap yang perlu kita teladani,adalah keberaniannya dan kecerdikannya untuk mencari jalan keluar disaat saat genting dan ditengah keadaan jepang yangsedang kacau balu (karena keadaan hirosima dan nagasaki telah hancur) . Beliau tetap bisa mengambil jalan keluar untuk tetap menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia, dengan melalui siaran saluran luar ngegeri dan berkat peran beliau dan para team, indonesia akhirnya merdeka secara mutlak.  
Mengerjakan sesuatu dengan segera dan cepat serta tepat pada waktunya dan sesuai kemampuan  yang dimilikinya untuk selalu turut andil membantu kemerdekaan indonesia.

Selalu berhati hati dan memperhitungkan resiko dan juga selalu berfikir luas untuk mengambil jalan keluar

Meneladani Perjuangan tokoh proklamasi "Latif Hendraningrat"


LATIEF HENDRANINGRAT
“Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe”
Sesuai dengan motto yang dipegang teguhnya, ia merupakan sosok yang tidak banyak menuntut dan bicara., tapi membuktikan dengan perbuatan.
Peran: -Latief sempat menjadi anggota TNI
  -Menjadi Rektor IKIP (sekarang: Universitas Negeri Jakarta)
  -Menjadi anggota PETA
  -Komandan komando kota ketika Belanda menyerbu Yogyakarta
  -Sebagai Atase militer RI untuk Filipina
  -Memimpin sekolah staf dan komando Angkatan Darat (sekarang: seskoad)
  -Pengibar bendera Merah Putih bersama Suhud
  -Menyiapkan barisan saat upacara Proklamasi
  -Pemuda ini menjadi penanggung jawab keamanan saat hari Proklamasi Kemerdekaan
Hal yang dapat diteladani;
1.      Semangat nasionalisme yang tinggi untuk meraih kemerdekaan
2.      Jiwa tanggung jawab, dibuktikan ia mejadi komando
3.      Tokoh yang pintar, sempat menjadi rektor
4.      Ia mencurahkan segala perhatian dan tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat & Organisasi Indonesia Muda
5.      Berjiwa pemimpin dan pemberani
6.      Rela berkorban untuk Tanah Air
7.      Banyak bertindak dibanding menuntut

Erawati Rosadi(13) Fira Dwi Anggraeni (15)

Meneladani Perjuangan tokoh proklamasi "Ahmad Soebarjo"

       Kelompok 3 :
1. Rizkia Alfandi                  (24)
2. Sekar Apriliany                (26)
                                             XI IPS 1


            Achmad Soebardjo adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia juga Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Semasa remaja Subarjo sekolah di Hogere Burger School, Jakarta (Setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933. Dalam bidang pendidikan, Sebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
     Achmad Soebardjo lahir di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Ibu Ahmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
            Ketika menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui organisasi kepemudaan seperti Jong Jawa dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Ahmad Subarjo juga pernah menjadi utusan Indonesia bersama dengan Mohmmad Hatta pada konferensi antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ia bertemu Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
             Karir Ahmad Subarjo terus naik ketika dilantik menjadi Menteri Luar Negeri tanggal 17 Agustus 1945, sekaligus sebagai menteri luar negeri pertama. Kabinet saat itu bernama Kabinet Presidensial, kemudian menjabat Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
              Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.


Peranan Ahmad Subarjo dalam kemerdekaan Republik Indonesia
1. Berjuang melawan penjajah dengan sikap anti penjajahnya
2. Berani baertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya demi kelangsungan kemerdekaan Republik Indonesia dalam peristiwa rengasdengklok
3. Membantu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta merumuskan dasar negara.
4. Membantu urusan pemerintahan dalam kemerdekaan RI
5. Membantu menyelesaikan konflik antara golongan tua dan muda dalam kelangsungan Kemerdekaan
6. Mengisi pemerintahan sebagai menteri pada kabinet Ir. Soekarno

Hal yang dapat diteladani :
1. Tanggung jawab
2. Adil dan Bijaksana
3. Semangat Patriotisme/Nasionalisme yang tinggi
4, Rela menolong tanpa pamrih
5. Orang yang sederhana dan tidak sombong
6. Cinta terhadap Tanah Air Indonesia

7. Aktif dalam berbagai bidang

Meneladani Perjuangan tokoh proklamasi " F.Wuz dan Yusuf Ronodipuro"

meneladani tokoh proklamasi " F.Wuz dan Yusuf Ronodipuro"


Nama kelompok :
Dewi wulandari (11)
Misi Haryanti (19)
Shafira Ika Rahmayani (28)

Yusuf Ronodipuro

Peran F. Wuz dan Yusuf Ronodiputo dalam penyebaran berita ptoklamasi di Indonesia

Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya ikuti pembahasan di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.

Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.

Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect our Constitution, August 17!(Hormatilah Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!) Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi.

§  Teuku Mohammad Hassan dari Aceh.

§  Sam Ratulangi dari Sulawesi.

§  Ktut Pudja dari Sunda Kecil (Bali).

§  A. A. Hamidan dari Kalimantan.

Hal yang dapat diteladani dari tokoh F. Wuz dan Yusuf Ronodipuro
·         Semangat pantang menyerah yang dimiliki keduanya dalam penyebaran berita proklamasi dan keberanian keduanya dalam menyampaikan berita yang tidak jarang mendapat ancaman dari pihak Kempetai Jepang.


Meneladani Perjuangan tokoh proklamasi "Frans Sumarto Mendur"

meneladani perjuangan tokoh proklamasi "Frans Sumarto Mendur"



KELOMPOK 11   : Frans Sumarto Mendur
ANGGOTA           :
1.      Berlian Indah Kusumaningrum      (07)
2.      Fajarwati Sumardi Putri                  (14)
3.      Kenadya Aisyah Almas                    (16)
XI IPS 1

Peran Serta Keteladanan Sosok Frans Sumarto Mendur



Frans Soemarto Mendur (lahir tahun 1913 – meninggal tahun 1971 pada umur 57/58 tahun) adalah salah satu dari para fotografer yang mengabadikan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Bersama saudara kandungnya, Alex Mendur, mereka turut mengabadikan persitiwa bersejarah ini
Kisah Frans Sumarto Mendur dan kakaknya Alex Impurung Mendur Menjelang detik-detik Proklamasi
Suatu pagi di bulan puasa, 17 Agustus 1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di harian Asia Raya bahwa ada peristiwa penting di kediaman Soekarno. Alexius Impurung Mendur, abangnya yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei, mendengar kabar serupa. Kedua Mendur bersaudara ini lantas membawa kamera mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Soekarno.
(Frans Sumarto Mendur “kanan” dan Alex Impurung Mendur “kiri”)





Kendati Jepang telah mengaku kalah pada sekutu beberapa hari sebelumnya, kabar tersebut belum diketahui luas di Indonesia. Radio masih disegel Jepang dan bendera Hinomaru masih berkibar di mana-mana. Patroli tentara Jepang masih berkeliaran danbersenjatalengkap.

Dengan mengendap-endap, Mendur bersaudara berhasil merapat ke rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, tatkala jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi.
Pukul 08.00, Soekarno masih tidur di kediamannya lantaran gejala malaria. Soekarno juga masih lelah sepulang begadang merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Dibangunkan dokternya untuk minum obat, Soekarno lantas tidur lagi dan bangun pukul 09.00.
Di Jakarta, pukul 10.00 pada hari Jumat pagi itu Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Upacara proklamasi kemerdekaan berlangsung sederhana, tanpa protokol. Hanya Mendur bersaudara yang hadir sebagai fotografer pengabadi peristiwa bersejarah Indonesia.
Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang tersisa. Foto pertama, Soekarno membaca teks proklamasi. Foto kedua, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.






(tiga foto yang berhasil Frans Sumarto Mendur abadikan)


Foto karya Frans Mendur yang mengabadikan detik-detik proklamasi Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, 17 Agustus 1945. Kiri, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Kanan, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.
Diburu tentara Jepang
Usai upacara, Mendur bersaudara bergegas meninggalkan kediaman Soekarno. Tentara Jepang memburu mereka. Alex Mendur tertangkap, tentara Jepang menyita foto-foto yang baru saja dibuat dan memusnahkannya.
Adiknya, Frans Mendur, berhasil meloloskan diri. Negatif foto dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Tentara Jepang mendatanginya, tapi Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor.

(Kamera yang digunakan kala itu)


Meski negatif foto selamat, perjuangan mencuci dan mencetak foto itu pun tak mudah. Mendur bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, memanjat pohon dan melompati pagar di samping kantor Domei, yang sekarang kantor Antara.

Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Risiko bagi Mendur bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945. Tanpa foto karena telah disensor Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pada bulan September 1945, fotografer-fotografer muda Indonesia bekas fotografer Domei di Jakarta dan Surabaya mendirikan biro foto di kantor berita Antara.

Tanggal 1 Oktober 1945, BM Diah dan wartawan-wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka. Foto bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka.
Setahun setelah kepindahan ke Harian Merdeka, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur menggagas pendirian Indonesia Press Photo Service, disingkat IPPHOS. Turut mendirikan biro foto pertama Indonesia tersebut, kakak-beradik Justus dan Frank “Nyong” Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda. IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta, sejak berdiri 2 Oktober 1946 hingga 30 tahun kemudian.
IPHHOS (Indonesia Press Photo Services)

Koleksi foto IPPHOS pada kurun waktu 1945-1949 konon berjumlah 22.700 bingkai foto. Namun, hanya 1 persen yang terpublikasikan. Foto-foto IPPHOS tak hanya dokumentasi pejabat-pejabat negara, tetapi juga rekaman otentik kehidupan masyarakat pada masa itu.
Keluarga Mendur adalah putra daerah Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir pada 1907, sementara adiknya Frans Mendur lahir tahun 1913. Frans belajar fotografi kepada Alex yang sudah lebih dahulu menjadi wartawan Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Frans lantas mengikuti jejak abangnya menjadi wartawan pada tahun 1935.
Foto monumental lain karya Alex Mendur adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945, tetapi sering dianggap terjadi di hotel Oranje, Surabaya. Foto monumental lain karya Frans Mendur adalah foto Soeharto yang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.
Kala itu nama Mendur bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing. Namun, Mendur bersaudara dan IPPHOS tetap idealis untuk loyal kepada Indonesia. Padahal, secara etnis Minahasa, sebenarnya Mendur bersaudara bisa saja dengan mudah merapat ke Belanda. IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing.
Meninggal dalam sepi

Semasa hidupnya, Frans Mendur pernah menjadi penjual rokok di Surabaya. Di RS Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971, fotografer pengabadi proklamasi kemerdekaan RI ini meninggal dalam sepi.

Alex Mendur tutup usia pada tahun 1984 juga dalam keadaan serupa. Hingga tutup usia, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur tercatat belum pernah menerima penghargaan atas sumbangsih mereka pada negara ini. Konon, mereka berdua pun ditolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Baru pada 9 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi kedua fotografer bersejarah Indonesia ini, Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur, penghargaan Bintang Jasa Utama.


KOMPAS/ARIS PRASETYO Jolly Rompas, pengelola Tugu Pers Mendur, berdiri di depan patung Alex Impurung Mendur (kiri) dan Frans Soemarto Mendur di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (22/1/2014). Tugu Pers Mendur didirikan untuk mengenang jasa kakak beradik tersebut yang mengabadikan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia lewat kamera mereka. Keduanya adalah putra asli Minahasa.
Tugu Pers Mendur
Untuk mengenang aksi heroik Mendur bersaudara, keluarga besar Mendur mendirikan sebuah monumen yang disebut "Tugu Pers Mendur". Tugu ini berupa patung Alex dan Frans serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu.

Tugu Pers Mendur didirikan di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, di tanah kelahiran mereka. Di dalam rumah itu terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara.

Presiden Yudhoyono meresmikan tugu ini pada 11 Februari 2013. Baca: 
Tugu Pers Mendur, Pejuang Bersenjatakan Kamera
Dari uraian diatas dapat kita tarik peran Frans Sumarto Mendur dibalik peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sebagai salah satunya tokoh yang berhasil mengabadikan 3 foto selama berlangsungnya proklamasi kemerdekaan RI, yang tanpa jasanya peristiwa prolamasi hanya akan menjadi cerita turun temurun, tnpa adanya bukti outentik.
Keteladanan :
1.      Nasionalismenya yang tinggi untuk menyambut kemerdekaan RI
2.      Cerdas, dalam hal ini mengelabui Jepang yang hendak merampas foto hasil jepretannya
3.      Pantang menyerah, meski mengetahui bahaya dibalik tindakan nekatnya namun, beliau tidak takut




Meneladani Perjuangan Tokoh Proklamasi "dr. Moewardi"

Nama anggota kelompok
a.    Berliana Aptikasari              (08)
b.    Carolina Eka Safitri              (09)     XI IIS 1

c.    Eka Dyah Pramusinta         (12)


Meneladani Perjuangan Tokoh Proklamasi "dr. Moewardi
DR MOEWARDI



Muwardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Sebagai putera ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru. Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera. Perjalanan pendidikan dr Moewardi dimulai pada 1926, beliau tercatat sebagai mahasiswa tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). dr Moewardi kemudian melanjutkan belajar di Nederlandsch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pada tahun 1931. Akhirnya PKI melakukan pemberontakan di madiun pada tanggal 11 september 1948 dan di solo pada tanggal 13 september 1948. ketika itu PKI melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan. Dr, Muwardi turut menjadi korban kebiadaban PKI tersebut, ia diculik dan di bunuh pada saat akan pergi menjalankan praktik sebagai dokter di rumah sakit Jebres.

Peranan :
1.    Setelah Dr Muwardi lulus dari School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) dan memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT), beliau aktif di organisasi Jong Java, serta aktif di Kepanduan dan pernah menjadi pemimpin umum Pandu Kebangsaan yang merupakan cikal bakal terbentuknya Pramuka.

2.    Pada saat menjelang dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Dr Muwardi sudah menjadi ketua Barisan Pelopor yang dipasrahi untuk memerintahkan Barisan Pelopor guna menjaga Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Monas) yang rencananya akan digunakan sebagai tempat pembacaan teks proklamasi. Usai proklamasi, barisan pelopor istimewa juga dibentuk muwardi untuk menjaga rumah presiden dan wakil presiden Soekarno-Hatta.

3.    Dr Muwardi memindahkan barisan pelopor ke Solo pada awal tahun 1946 dan merubah namanya menjadi Barisan Banteng. Pertimbangannya, situasi di Jakarta ketika itu semakin memanas dan tugas dari Barisan Pelopor sudah dapat diambil oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

4.    Di Solo, dr Muwardi mendirikan Sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi brutal yang dilancarkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI terkenal kejam dan tidak segan-segan menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan cara membunuh. Dr Muwardi sendiri turut menjadi korban kebiadaban PKI tersebut. Ia diculik dan dibunuh pada saat akan pergi menjalankan praktek sebagai dokter di Rumah sakit Jebres.


5.    Tak banyak yang tahu bahwa Dr Muwardi lah, tokoh nasionalis yang membacakan pembukaan UUD 1945, sebelum Sukarno menyampaikan pidato dan membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945.


Keteladanan Dr Muwardi :

1.    Ia merupakan seorang yang loyal terhadap pekerjaannya, yaitu sebagai seorang dokter. Ia sempat dipilih menjadi Menteri Pertahanan, namun karena kecintaannya terhadap dunia kedokteran, ia menolaknya dan tetap pada pendiriannya yaitu sebagai dokter

2.    Dr Muwardi juga seorang pekerja keras terutama dalam bidang pengetahuan. Ia selalu berusaha memperdalam ilmunya. Ilmu adalah hal penting dalam hidupnya.

3.   Ia seorang aktivis organisasi, ia terikat di beberapa organisasi. Yang patut dibanggakan, dr Moewardi tak hanya aktif sebagai dokter, namun ia juga dikenal pandai pencak silat dan aktif dalam bidang kepanduan. Beliau juga aktif dalam organisasi lainnya. Diantaranya, ia adalah pendiri Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR), Ketua Umum Barisan Pelopor, pemimpin di kepanduan Jong Java Padvinder, asisten pada rumah sakit CBZ, yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

4.    Dr Muwardi juga seorang tokoh nasional yang memiliki sifat kepemimpinan, terbukti ia dipercaya untuk memimpin beberapa organisasi yang diikutinya.

5.    Ia terkenal sebagai Dokter Muwardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena beliau senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas. Pernah suatu saat, karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur.
Dia memandangi pakaian Muwardi yang masih bersih tak bernoda sedikit pun, “baru ganti itu !”, pikirnya. Sayang kalau ia harus jalan di lumpur. Air kotor dan lumpurnya tentu akan segera melekat pada sepatu dan celananya. “Tidak !”. “Jangan !” “Pak dokter harus tetap bersih, agar dapat segera mengunjungi orang sakit lainnya,” Akhirnya mau tidak mau, Muwardi digendong oleh si gembel. Sehingga Muwardi digendong di punggung si gembel dari jalan besar hingga ke rumah si sakit. Demikian pula pulangnya kembali ke mobil. Begitulah kecintaan rakyat gembel kepadanya.



RSUD dr. Moewardi di kota Surakarta, Jawa Tengah. Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Jakarta.